Jumat, 23 Desember 2011

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB CSR DALAM PENGENDALIAN DAN OPTIMALISASI LINGKUNGAN

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB CSR DALAM PENGENDALIAN DAN OPTIMALISASI LINGKUNGAN

Sundani Nurono Soewandhi
Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung
sundani@fa;itb;ac;id

Pendahuluan
Sejak kapankah kita semua menyimak betul tentang Corporate Social Responsibility, CSR ini? Di jaman Orde Baru nyaris setiap saat terdengar dan nyata adanya pembangunan masjid-masjid, student center, lapangan olah raga, bantuan bagi dunia pendidikan, pembangunan sekolah-sekolah, bantuan sosial kepada masyarakat kurang mampu, bantuan teknis dan operasional yang dilaksanakan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Yayasan, Industri, Lembaga Sosial Masyarakat, atau Klub-klub sosial bahkan individu dalam kerangka perbaikan kehidupan sosial, budaya, ekonomi manusia dan juga lingkungan kehidupannya. Bukankah di antara sekian banyak kegiatan itu juga telah ada yang tergolong ke dalam CSR ini? Jika benar bahwa CSR baru diperkenalkan kepada dunia pada tahun 1953 kemudian direalisasikan sejak akhir tahun 60 atau awal 70an, tentunya Indonesia tidak dapat dikatakan tertinggal dari kecederungan baru tersebut. Lalu mengapa belakangan CSR seolah-olah muncul begitu mendadak dan demikian pentingnya bagi perbaikan kehidupan masyarakat di Indonesia?
Di jaman Orde Baru (1967-1998) dimana kebijakan sentralistik menjadi pola manajemen bernegara, CSR ini pada hakekatnya sudah dijalankan. Pembangunan mesjid bantuan Yayasan Amal Bakti Pancasila, bantuan beasiswa bagi mahasiswa yang secara ekonomis kurang beruntung dari Yayasan Supersemar, bantuan gedung Student Center dari Pertamina, bantuan investasi peralatan pendidikan tinggi dari Schlumberger dapat dijadikan contoh. Jika saja sumber dana tersebut dinapaktilasi, besar kemungkinan muaranya juga sama, CSR. Pada jaman Orde Reformasi (1998-sekarang) pola sentralistik diubah menjadi desentralistik. Pola yang memberi peluang bagi industri BUMN, partikulir ataupun PMA mampu menerimakan visinya kepada masyarakat luas lebih leluasa. Juga dalam upaya industri membangun citra sebagai penjaga lingkungan yang baik, meningkatkan kesentosaan hidup masyarakat sekaligus memperoleh keuntungan.
Meskipun demikian, kesentosaan masyarakat dan kelestarian lingkungan tidak semata-mata ditentukan pada tingkat kepatuhan pengelola industri dengan kebijakan CSRnya. Pemerintah sebagai penyelenggara negara yang mengemban amanat UUD 1945 tetap menjadi tokoh kunci dalam pengelolaan kekayaan alam dan seisinya bagi kemaslahatan bangsa Indonesia.

CSR
Situasi kekinian semesta semakin mengkhawatirkan banyak pihak, khususnya terhadap pemanasan global.  Industri disudutkan sebagai pihak paling dominan penyebab kerusakan lingkungan di dunia. Kabar terakhir menginformasikan bahwa kerusakan hutan Sumatera disebabkan karena boneka Berby yang menjadi kesukaan anak-anak. Belum lagi kerusakan yang diakibatkan Lumpur Lapindo Porong Sidoarjo, PT Freeport di Papua dan di lain-lain pelosok NKRI. Oleh sebab itu, di negara-negara perintis CSR, akibat berbagai tekanan pihak-pihak eksternal dan internal, pengelola industri pada akhirnya mengambil kebijakan adanya CSR. Kebijakan yang dinilai relevan dengan keberlanjutan usaha dimana suatu industri berupaya menciptakan keseimbangan antara profit yang diterima dengan level kesentosaan dan kelestarian lingkungannya. Untuk mengenal CSR, The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikannya seperti ini:
"Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as the local community and society at large."



Muncul kemudian beberapa model CSR yang mengaksentuasikan tanggungjawab ekonomi korporasi selain untuk bertahan hidup sekaligus menciptakan profit. Model tersebut menginspirasi kemunculan tanggungjawab berikutnya, to abide by societal expectations and ethical principles, to meet legal standards and to indulge in discretionary charitable actions (Carroll, 1979). Argumentasi lain menyatakan bahwa penekanan pertama harus diletakkan pada kesadaran akan tanggung jawab bisnis setiap manajer untuk membuat keputusan sosial, berperilaku etis dan mengikuti hukum yang mengaturnya sebelum akhirnya menciptakan profit. Seperti halnya yang dikatakan Wood (1994) berikut ini, "It is of no importance at all whether a particular business remains competitive or not. Businesses that cannot remain competitive while fulfilling legal, ethical, and discretionary social responsibilities should not be in business at all."

Tabel di bawah menunjukkan model sederhana namun bermanfaat mengenali mengapa, bagaimana dan apa CSR itu:
 

Principles of corporate social responsibility

Processes of corporate social responsiveness

Outcomes of corporate behavior

Principle of institutional legitimacy
·       companies are responsible for earning and maintaining a 'licence to operate' granted by society
Environmental assessment:
·      scanning the environment, gathering information, adapting to changing conditions
Social impacts:
·     of products and services, of policies and programs
Principle of public responsibility:
·       companies are responsible for solving the problems they cause, and for helping with problems related to their operations
Stakeholder management:
·      engaging in dialogue with key stakeholders, collaborative problem-solving, corporate social performance reporting, corporate partnerships
Social programs:
·     formal policies that guide company behaviour and legal compliance, informal company culture and values
Principle of managerial discretion:
·       managers are responsible for behaving ethically and in favour of socially responsible outcomes
Issues management:
·                     anticipating issues, managing crises
Social policies:
·     discretionary activities directed at specific goals
Source: D. Wood, Business and Society, Harper Collins, New York, 1994

CSR di Indonesia
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Indonesia telah mengenal CSR-like sejak lama. Namun baru menjadi legal formal, jelas, bersifat wajib bagi industri setelah pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Penjelasan pasal 15 huruf b UU, bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Pasal 1 angka 3, tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya).
Suprapto pada tahun 2005 melakukan survey terhadap 375 perusahaan di Jakarta. Hasilnya adalah 166 (44,27 %) perusahaan tidak melakukan kegiatan CSR; 209 (55,75 %) melakukannya. Dari 209 perusahaan tersebut, 116 di antaranya melakukan kegiatan CSR dalam bentuk kegiatan kekeluargaan,  disusul 50 menyumbangkannya bagi lembaga keagamaan, 39 menyerahkannya kepada yayasan sosial dan hanya 4 yang melakukan pengembangan komunitas.
Sementara itu, dari laman Telkomsel, CSR Telkomsel diketahui telah dimanfaatkan bagi masyarakat di seluruh Indonesia melalui beberapa kegiatan berikut:
a.     Pendidikan Non Formal
b.     Bersih itu Sehat dan Santun
c.     Anti Drugs
d.     Pendidikan Kreatif
e.     Ketrampilan/Kewirausahaan
f.      Pendidikan Formal
g.     Student Visit/Goes To Campus
h.     Cooperative Academic Education Program
i.      Tryout  UAN
j.      Sekolah Berbasis IT

Menilik dari berbagai jenis komoditas barang ataupun jasa yang menjadi core business perusahaan, dapat dimaklumi jika ditemukan berbagai variasi kegiatan CSR di Indonesia. Jika Telkomsel menyalurkan kegiatan CSRnya fokus pada aspek kesehatan dan pendidikan masyarakat, perusahaan lain kemungkinan fokus pada aspek lingkungan. Namun secara umum, kegiatan CSR dilaksanakan perusahaan di seputar core businessnya masing-masing yang pada akhirnya menguntungkan perusahaan. Kondisi semacam ini tentu tidak dapat dihindari dan dinilai baik-baik saja sejauh masyarakat sekitarnya juga merasakan manfaat keberadaan perusahaan. Akan tetapi bagaimana jika keberadaan perusahaan justru di lokasi yang jarang penduduknya seperti dijumpai di belantara Kalimantan, Sumatera atau Papua? Bagaimana perusahaan semacam ini menata kegiatan CSRnya? Atau sebaliknya, bagaimana CSR perusahaan yang berada di satu lokasi yang sama atau berdekatan dengan populasi penduduk yang sangat padat seperti ibukota-ibukota propinsi? Adakah sinergi di antara mereka?

Starbucks CSR  yang diunduh dari //gr.starbucks.com/en-US/-Social+Responsibility  fokus pada empat hal, yaitu :
Commitment to Origins
Commitment to Environment
Commitment to Communities
Commitment to Partners
Jika dibandingkan antara CSR Telkomsel dan Starbucks tampak adanya fokus kegiatan yang berbeda. Hal tersebut dapat dimengerti karena core business Starbucks adalah biji kopi alami dan petani kopi.


CSR bagi Lingkungan
Terkait dengan CSR, dikenal adanya istilah triple bottom line, yaitu: people, planet, profit. Bagi pihak eksternal perusahaan tentu tidak terlalu tertarik dalam membahas aspek ketiga, yaitu profit. Akan tetapi mengenai dua hal lainnya, yaitu manusia dan semesta tentu menjadi sesuatu yang lebih bermakna untuk dibicarakan dan dirumuskan. Berbicara mengenai manusia pasti akan menyinggung sangat banyak aspek penting dalam kehidupan antara lain sosial, budaya, religi, kesehatan, pendidikan, sandang- pangan-papan, keamanan dan ekonomi. Keragaman aspek kehidupan manusia di Indonesia yang berada di sekitar perusahaan, level kondisi kehidupannya yang sangat majemuk serta belum menguntungkan, menjadi faktor lain adanya beranekaragam jenis kegiatan CSR, disamping faktor lokasi dan core business perusahaan. Tidak heran jika pihak manajemen perusahaan menetapkan urut prioritas aspek yang akan ditangani melalui kegiatan CSR masing-masing berdasar hasil pemetaan dampak eksistensi perusahaan pada masyarakat dan semesta di sekitarnya.

Pada hakekatnya, jika semua perusahaan (tak perduli di mana lokasinya) membangun fasilitas bisnisnya, melakukan kegiatan produksi dengan baik dan memenuhi peraturan yang berlaku serta tidak serakah dalam mengeruk keuntungan, cakupan CSR untuk kepentingan manusia tentu akan menjadi prioritas dan luas. Selain faktor keserakahan perusahaan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, faktor lain diperkirakan berperan sangat signifikan terhadap pelanggaran prosedur kerja perusahaan. Jika faktor birokrasi berada di balik  pelanggaran disengaja tersebut, maka jumlah CSR yang harus dialokasikan bisa jadi tak berhingga. Sebab, faktor penyebabnya tidak dapat dihilangkan. Dengan demikian dampak ikutannya juga tidak dapat dihentikan. Dalam kondisi semacam ini, upaya pemerintah memberlakukan peraturan tentang kewajiban CSR bagi perusahaan menjadi dilematis. Akan tetapi, jika faktor kelalaian perusahaan menjadi penyebabnya (tercemarinya perairan, udara sekitar, illegal logging dan sejenisnya) peraturan pemerintah menjadi bermakna. Demikian pula alokasi biaya CSR untuk mengatasi level kerusakan masih dapat dihitung dan ditentukan nominalnya, juga lama waktu penyelesaiannya. Ironisnya, kedua fenomena di atas masih belum memperoleh perhatian semestinya dari pemerintah secara konsisten, demikian pula penegakan sanksi atas kerusakan yang ditimbulkannya.

CSR dapat menjadi lebih fleksibel artinya tidak harus ditujukan hanya semata-mata untuk menangani kerusakan yang disebabkannya tetapi justru digunakan untuk membantu menciptakan ketentraman, kemandirian dan kesentosaan masyarakat luas. Tatkala perusahaan telah mematuhi aturan main bisnis dan regulasi yang menyertainya. Dengan begitu, banyak aspek kehidupan masyarakat yang utama dapat ditangani. CSR tidak terkesan sebagai pembasuh dosa masyarakat akan tetapi justru sebagai kegiatan amal yang penuh manfaat. Jika perusahaan telah mampu menujukan CSR nya untuk kegiatan semacam itu, mungkin akan menjadi pelajaran sangat baik bagi pemerintah tentang bagaimana seharusnya memperlakukan masyarakat secara benar. Adakah peluang untuk itu?

Untuk membantu membayangkan seperti apakah lingkungan itu, dimanfaatkan pengertian berikut: bahwa lingkungan itu adalah kondisi di sekeliling mahluk hidup. Kondisi ini merupakan kombinasi kondisi fisik eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan mempertahankan hidup semua mahluk. Lingkungan juga mencakup kondisi sosial dan budaya yang mempengaruhi kehidupan individu atau masyarakat.

Dalam tulisan ini, uraian berikut lebih terfokus pada lingkungan yang meliputi aspek sosial dan budaya. Kedua aspek tersebut juga menjadi pertimbangan kebijakan CSR yang tidak kalah penting dengan aspek lain seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, lingkungan (dalam artian semesta) dan lain-lain. Belum diketahui dengan pasti, kegiatan CSR manakah yang paling banyak dilakukan di Indonesia? Jika hanya berdasar atas prediksi, mungkin saja benar bahwa CSR dalam rangka perbaikan ekonomi masyarakat dan lingkungan akan menempati posisi prioritas. Akan tetapi siapakah yang menjamin bahwa kegiatan CSR mampu memberi dampak positif yang permanen? 

Tangible impact
Ada cukup banyak contoh kegiatan CSR yang memberi tangible impact. CSR yang fokus pada aspek pendidikan masyarakat, umumnya ditujukan untuk membentuk, meningkatkan keterampilan, memberi peluang mengenyam pendidikan, pelatihan bagi murid menguasai permainan anak-anak, berkebun di halaman sekolah, memperbaiki fasilitas kamar mandi sekolah dan sejenisnya. Namun adakah kegiatan CSR yang menyentuh pihak-pihak eksternal terkait dengan penyediaan fasilitas pembelajaran di sekolah? Sebagai contoh, perhatikan kondisi bangku sekolah yang dalam banyak hal belum menerapkan aspek ergonomik, ketidaksimetrian dimensi, ketidaksempurnaan finishing bangku dan meja belajar, daya tahannya yang rendah. Bagaimana dengan mutu konstruksi bangunan fisik sekolah? Belum lagi rasio luas ruang terhadap jumlah siswa yang tidak seimbang. Juga buruknya koleksi, manajemen dan fasilitas perpustakaan sekolah, beban fisik yang harus dipanggul di pundak siswa setiap saat bersekolah, kesehatan makanan di lingkungan sekolah dan lain sebagainya yang belum terjamin baik? Juga mutu dan moral guru yang belum kunjung membaik? Tidak mungkinkah dibentuk gabungan CSR beberapa perusahaan untuk menanganinya?

CSR untuk lingkungan yang bersifat tangible lainnya adalah gerakan penanaman pohon. Yang paling banyak terjadi adalah melibatkan sebanyak mungkin masyarakat berbondong-bondong menanam pohon. CSR tentu sudah mempertimbangkan jenis dan jumlah pohon yang harus ditanam terhadap luas lahan yang siap ditanami. Kembali kepada dampak positif permanen, adakah pohon CSR dirawat sebagaimana mestinya? Adakah yang kemudian mengevaluasinya? Berapa pohonkah yang berakar? Membiarkan alam merawat atau bahkan mungkin membuatnya merana dan mati, bisa jadi menjadi gambaran hasilnya. Yang paling ironis justru perusahaan yang gencar bergiat dalam CSR, disamping menanam pohon untuk taman-taman kota, menjadikan hawa kota lebih sejuk dan agak bersih juga melakukan penanaman pohon-pohon metal di banyak penjuru kota-kota besar. Tidak berlebihan jika di kota-kota besar tersebut pohon metalnya lebih dominan ketimbang pohon alami. Situasi semacam ini cenderung menciptakan dampak negatif permanen. Pada situasi seperti ini, CSR yang direalisasikan jangan-jangan hanya merupakan kamuflase atau pengalihan perhatian masyarakat dari terciptanya kerusakan lingkungan yang lain.  

Contoh sejenis lainnya adalah industri otomotif. Industri semacam ini tampak tidak menyebabkan kerusakan lingkungan secara langsung. Sebabnya adalah karena seluruh bahan yang diperlukan diperoleh dari industri pendukungnya melalui proses sintetis.  Hanya bahan bakarnya masih tergolong energi yang tidak terbarukan. Jalanan manakah yang terbebas dari polusi kendaraan bermotor? Jalanan manakah yang bebas kebisingan suara knalpot atau kepadatan masif sepeda motor? Siapapun menyadari akan dampak negatif yang ditimbulkannya, mulai dari korban kecelakaan lalu lintas sampai kepada memburuknya kondisi paru-paru dan meningkatnya stress masyarakat? Adakah CSR industri otomotif ditujukan untuk mengatasi atau minimal mencegah kerusakan tersebut? Kerusakan yang cenderung menyebabkan dampak negatif permanen?



Intangible impact
Kegiatan CSR umumnya fokus pada pekerjaan yang dampaknya langsung dapat dirasakan masyarakat dan terukur (tangible impact). Di Indonesia masih sangat jarang ditemukan CSR yang memberikan intangible impact  seperti perilaku (attitude) misalnya. Sebagai contoh, industri farmasi yang termasuk sebagai salah satu industri paling tidak merusak alam dan masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan karena bahan obat dan bahan penolong yang diperlukan seluruhnya bahan sintetik. Jika toh memerlukan bahan alami pun seluruhnya terbarukan. Di samping itu, fasilitas konstruksi, peralatan, proses produksi sampai kepada sistem penjaminan mutunya wajib menerapkan berbagai ketentuan WHO, dan juga Food Drug Administration nya Amerika Serikat. Lokasinya terkonsentrasi mayoritas di pulau Jawa atau tepatnya Jawa Barat dan DKI. Produknya yang berdampak positif mencegah, mengurangi atau bahkan menyembuhkan penyakit, tersebar ke segala penjuru NKRI bahkan luar negeri. Akan tetapi sihirnya yang mampu membius para dokter untuk senantiasa melakukan penunjukan langsung, tidak saja berdampak pada mahalnya harga obat. Yang jauh lebih mengkhawatirkan lagi adalah tumbuhnya perilaku (attitude) menyimpang dari kode etik, baik apoteker maupun dokter. Dampak intangible semacam ini adakah CSRnya? Sementara CSR industri farmasi lebih fokus pada pembinaan usaha mikro tanpa memandang jenis komoditasnya. Dalam situasi semacam ini, dampaknya bisa saja menjadi negatif atau bahkan positif permanen, tergantung dari aspek yang ditinjau dan siapa yang menilai?

Situasi yang nyaris sama dijumpai pada industri pariwisata. Di seluruh Indonesia titik-titik wisata potensial umumnya diupayakan untuk dilengkapi dengan fasilitas rekreasi, penginapan dan/atau transportasi. Nyaris tidak ada kerusakan yang dialami semesta dan juga tersingkirnya masyarakat dari titik-titik wisata. Namun jika ditilik dari makna wisata sendiri yang berarti kegiatan yang terdiri dari to do, to see dan to know  maka tersadarkah banyak pihak akan kekurangan yang ada? Dua hal yang disebutkan pertama tampaknya sudah terpenuhi dengan baik. Tetapi yang disebut terakhir? Belum banyak pihak yang menyadarinya bahwa wisatawan belum memperolehnya. Semestinya hal itu sudah terasakan, yaitu aspek belajar (pengetahuan) perihal titik-titik wisata itu sendiri. Aspek belajar ini terasa sangat penting ketika mengunjungi situs-situs sejarah yang tersebar di NKRI. Saat ini para wisatawan hanya sekedar mengenali bentuk, dimensi, kenyamanan dan faktor hedonik lainnya dari peninggalan-peninggalan sejarah nenek moyang. Akan tetapi tidak akan memperoleh filosofi, ilmu pengetahuan dan teknologi masa lalu bangsa Indonesia. Sebagai contoh, jika berkunjung ke candi Borobudur, berapa banyakkah wisatawan yang mampu menjawab pertanyaan dirinya sendiri tentang relief yang dipahatkan pada dinding candi? Bagaimanakan jawaban kuncen batu megalitikum di Cianjur tentang dengung suara di kala senja? CSR mungkin tidak selalu harus menyiratkan hukuman bagi perusahaan sehingga CSR terkesan sebagai “upaya perbaikan”. Akan tetapi untuk kasus kekurangan semacam ini akibat kelalaian semua pihak, tidakkah ada CSRnya? 

Bermanfaatkah CSR?
Penyaluran dana CSR dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: (1) dilakukan pihak perusahaan sendiri, (2) dilaksanakan pihak yang ditunjuk mewakili perusahaan atau (3) keduanya bekerjasama. Selama ini, kinerja CSR suatu perusahaan paling tidak telah dievaluasi secara mandiri atau dibantu pihak eksternal. Tolok ukurnya tentu bersumber dari misi CSR perusahaan itu sendiri. Akan tetapi adakah hasil evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan CSR di Indonesia? Semestinya evaluasi semacam itu sudah dilakukan. Hal ini penting terutama untuk mencegah atau mereduksi terjadinya dampak negatif permanen CSR. Sebab kegiatan sejenis yang bersumber dari dana pemerintah daerah lebih banyak tergolong ke dalam dampak negatif permanen. Artinya kegiatan yang dilakukan tidak memberi manfaat bahkan cenderung membuat masyarakat menjadi pasif dan tidak mandiri. Tentang kegiatan CSR sendiri, ada perusahaan yang menampik kontribusi dana yang berasal dari sumber lain atau CSR lain meskipun kegiatannya berbeda, tetapi masyarakatnya sama. Namun ada juga perusahaan yang membuka peluang bagi kontribusi dana pihak lain untuk menghasilkan kinerja lebih baik. Mudah sekali dipahami mengapa ada CSR yang tidak ingin dipotensiasikan dengan CSR atau dana lain. Pertama, fokus kegiatan CSR berbeda untuk setiap perusahaan; kedua, jika terjadi potensiasi, perusahaan akan sukar mengenali dampak kegiatan CSR secara spesifik; ketiga, kesinambungan kegiatan tidak terjamin; dan kemungkinan keempat, membangun kerjasama antar institusi tidak semudah yang dibicarakan.

Di Indonesia, kegiatan mengevaluasi program masih jauh panggang dari api. Apalagi jika yang dievaluasi adalah kegiatan yang merefleksikan potret diri. Evaluasi dinilai identik dengan sebuah cermin kelalaian atau buruk sangka. Evaluasi belum diposisikan sebagai tahap introspeksi menemukan solusi bagi suatu kegagalan, distorsi atau tidak tercapainya sebuah harapan. Tidak tersedianya data hasil evaluasi yang dapat memandu sampai diperolehnya informasi tentang tingkat keberhasilan atau kegagalan CSR, sudah barang tentu menyulitkan upaya perbaikan atau perubahan yang positif. Contoh, apakah jawaban atas pertanyaan berikut “apakah benar CSR tunggal lebih efektif dibandingkan kombinasi CSR-CSR atau CSR-Pemerintah”?  Jika muncul pertanyaan lain, adakah CSR telah memberikan manfaat? Apakah kriterianya dapat berwujud “CSR tanpa pamrih”? Jika jawabannya adalah “ya” akankah CSR yang ditujukan untuk memperbaiki citra diri tergolong CSR tidak bermanfaat? Ataukah CSR yang memberi dampak positif permanen sebagai CSR bermanfaat?

FLipMAS mitra CSR
Perguruan tinggi menjadi salah satu pihak yang kerap ditunjuk melaksanakan kegiatan CSR. Sementara itu, perguruan tinggi dengan darma Pengabdian kepada Masyarakat, PPM juga memiliki kewajiban yang kurang lebih identik dengan kegiatan CSR. Sebenarnya ada peluang terbuka untuk mensinergikan kedua pihak dimana perguruan tinggi tidak hanya diposisikan sebagai pihak pelaksana teknis CSR, melainkan turut berkontribusi dengan berbagai kepakaran dan dana yang dipunyainya.

Kegiatan PPM tidak hanya merespons persoalan masyarakat miskin, berpendidikan rendah, belum produktif secara ekonomis melainkan juga mengakomodasi kebutuhan dan tantangan masyarakat dunia usaha mikro dan juga industri. Untuk mengisi kebutuhan atau tantangan masyarakat akan lulusan perguruan tinggi yang mampu membuka kesempatan kerja atau produk intelektual yang dibutuhkan namun belum ditemukan di pasaran, juga tercakup dalam kegiatan PPM PT. Oleh karena itu, program PPM pada hakekatnya telah meluas dalam membentuk jejaring kerjanya. Dari semula hanya bermitra dengan masyarakat awam berkembang perlahan dengan turut melibatkan Pemerintah Daerah (Pemkab ataupun Pemko), mahasiswa/alumni, perguruan tinggi (PT) lain, pengusaha mikro, industri dan termasuk kontribusi biaya dalam penyelenggaraannya. Meskipun demikian, jejaring yang telah terbentuk masih bersifat lokal dengan titik-titik mitra yang tidak bersinergi satu dengan lainnya. Atau dalam banyak kasus lain, kegiatan PPM berada pada titik-titik mitra yang sama dengan kegiatan sejenis.

Akhir-akhir ini muncul kegiatan PPM PT atas kebijakan industri atau perbankan dalam bentuk kegiatan CSR. Menilik misi CSR yang sebagian besar menuju pada perbaikan aspek sosial, ekonomi masyarakat dan lingkungan, kegiatan semacam ini dinilai potensial untuk disinergikan dengan program PPM. Oleh sebab itu, masifnya dana yang digerakkan ke masyarakat baik melalui CSR perusahaan maupun Pemerintah, seharusnya mendorong PT untuk membuka diri pada pemikiran kewilayahan dan kebersamaan serta tidak asyik terus pada program individu PT.

6 (enam) wilayah, Nusa Tenggara Timur, Bali, Makassar, Malang, Yogyakarta dan Bandung telah mengantisipasi kondisi tersebut dengan membentuk Forum Layanan ipteks bagi Masyarakat (FLipMAS). Di FLipMAS NTT bernama HETVEN; Bali NGAYAH; Makassar MAMMIRI; Malang LEGOWO; Yogyakarta JAGADHITA; Bandung SABILULUNGAN. Fungsi penting FLipMAS antara lain: (1) Bersama semua pihak mensejahterakan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal wilayah; (2) Meningkatkan jumlah pelaksana PPM sampai mencapai critical mass di setiap wilayah; (3) Mempublikasikan produk PPM melalui pameran dan jurnal aplikasi ipteks; (4) Menyusun road map dan platform wilayah.

Adanya FLipMAS membuka peluang lain yang dapat ditawarkan kepada perusahaan untuk mengoptimalkan kegiatan CSR mengingat jenis kepakaran anggotanya yang beragam dan telah memiliki reputasi baik di wilayahnya masing-masing.

Bahan bacaan
Carroll, A. 1979, Managing Corporate Responsibility, Little, Brown, Boston.
Wood, D. 1994, Business and Society, Harper Collins, New York.
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar